Senin, 03 November 2014
Jalur Sutera
Jalur Sutra adalah nama yang diberikan seorang Jerman bernama von
Richthofen pada Abad-18M, untuk jalur darat yang menghubungkan Cina
dengan Eropa. Sekalipun baru dibuka resmi pada Abad-3SM, di masa Dinasti
Han yang mulai mengirim utusan ke berbagai negara Asia Selatan dan
Timur Tengah, namun Jalur Sutra sudah ada jauh sebelumnya. Jalur Sutra
terdiri dari banyak jalur yang bercabang-cabang, dan digunakan untuk
perdagangan berbagai komoditi selain sutra seperti gading, tanaman,
emas. Secara garis besar terdapat tiga jalur, di utara, tengah dan
selatan.
Jalur Utara menghubungkan Cina dengan Eropa hingga Laut Mati, melalui Urumqi dan Lembah Fergana. Jalur Tengah menghubungkan Cina dengan Eropa hingga tepian Laut Meditrrannia, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia. Jalur Selatan menghubungkan Cina dengan Afghanistan, Iran dan India, melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Di Cina, Jalur Sutra berujung di Changan atau Xian, ibukota kerajaan, ke arah barat melewati koridor Gansu, menuju Dun-huang di sisi Gurun Taklimakan. Jalur utara mulai dari Dun-huang dan Yu-men Guan, menyeberangi Gurun Gobi menuju Hami (Kumul), lalu menyisir kaki Tian-shan di bagian utara Taklimakan. Setelah oasis Turfan, menuju Urumqi dan Lembah Fergana untuk masuk Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini bercabang di Turfan, ke oasis Kucha, menuju Kashgar di kaki Pamirs.
Jalur selatan mulai Dun-huang, melewati Yang Guan, menyusuri sisi selatan Taklimakan, melalui Miran, Hetian (Khotan) dan Shache (Yarkand), menuju utara lalu menuju Kashgar. Masih ada beberapa cabang jalur, salah satunya bercabang dari jalur selatan menuju sisi timur Gurun Taklimakan ke kota Loulan, lalu bergabung dengan jalur utara di Korla. Dari Kashgar yang simpang lalulintas Asia, ada jalur menyeberangi Pamirs menuju Samarkand dan menuju selatan ke Laut Kaspia; atau jalur ke selatan melewati Karakorum menuju India; dan sebuah jalur lain menuju Kuqa, menyeberangi Tian-shan, menuju Laut Kaspia melalui Tashkent
Asal-usul Sutra dan Perkembangan Sutra di Cina
Legenda Cina memberi gelar Dewi Sutra kepada Putri Hsi-Ling-Shih, istri Kaisar Kuning yang mistis, yang disebut memerintah Cina sekitar tahun 3000SM. Putri Hsi-Ling-Shih dianggap berjasa memperkenalkan ulat sutra dan cara pengembakbiakannya. Pada tahun 1927 ditemukan kepompong ulat sutra dari masa 2600-2300SM di bantaran Sungai Huangho, Propinsi Shanxi, Cina sebelah utara. Di Qianshanyang, Propinsi Zhejiang ditemukan pita, serat sutra, dan perca, dari masa sekitar tahun 2000SM. Di bagian hilir Sungai Yang-tze bahkan ditemukan sebuah cangkir kecil dari gading bermotif-hias ulat sutra, alat tenun, serat sutra dan perca dari masa antara 6000-7000SM.
Pada awalnya sutra hanya boleh digunakan di kalangan istana (raja, kerabat dekat, pejabat tinggi). Di dalam istana, kaisar mengenakan jubah sutra putih, di luar istana kaisar dan permaisurinya mengenakan jubah sutra kuning. Pada Abad-5SM, paling tidak terdapat enam propinsi Cina penghasil sutra. Setiap musim semi, Permaisuri memimpin langsung upacara pembuatan sutra. Kerahasiaan teknik dan proses pembuatan sutra dijaga ketat oleh kerajaan. Barangsiapa membuka rahasia, atau menyelundupkan telur atau kepompong sutra ke luar Cina, akan dihukum mati. Secara bertahap produksi kain sutra menjadi industri dan elemen penting ekonomi Cina, sutra digunakan sebagai instrumen musik, tali pancing, tali busur panah, tali pengikat, dan kertas tulis. Akhirnya orang kebanyakanpun boleh mengenakan pakaian sutra. Pada masa Dinasti Han [206SM-220M] sutra tidak lagi sekedar produk industri atau barang dagangan. Petani membayar pajak dengan beras dan sutra, pegawai menerima gaji dan hadiah sutra.
Perdagangan Sutra
Sutra menjadi komoditi perdagangan internasional Cina yang sangat berharga antara. Perdagangan sutra telah terjadi jauh sebelum Jalur Sutra dibuka resmi pada Abad-3SM. Di desa Deir el Medina dekat Thebes, Lembah Raja-raja, Mesir, situs makam para pekerja raja Mesir, ditemukan mummi seorang wanita berusia antara 30-50 tahun. Mummi tersebut mengenakan sutra. Berdasarkan data anthropologis, metode mummifikasi, keadaan makam dan ‘amino-acid racemization’, mummi tersebut dinyatakan berasal dari sekitar tahun 1070, masa Dinasti Ke-21! [G.Lubec, J. Holaubek, C. Feldl, B. Lubec, E. Strouhal. NATURE, March 4, 1993]. Sebelum temuan ini, tercatat bahwa sutra digunakan di Mesir pada masa Dinasti Ptolomeik (sekitar Abad-3), termasuk Cleopatra.
Pada Abad-4SM, orang-orang Yunani dan Roma mulai berbicara tentang Seres, Kerajaan Sutra. Beberapa sejarawan menceritakan bahwa pasukan Marcus Licinius Crassus, Gubernur Siria, adalah orang Romawi pertama yang matanya silau (dalam arti sebenarnya) karena sutra. Dalam pertempuran Carrhae dekat Sungai Efrat, tahun 53SM, para serdadu Romawi panik karena mata mereka silau oleh kilauan sutra rompi pelindung serdadu Partian. Dalam waktu satu dasawarsa sutra Cina menjadi pakaian eksklusif elit Roma (seluruh pakaian Kaisar Heliogabalus [218-222] terbuat dari sutra), tapi segera meluas ke berbagai lapisan masyarakat, bahkan yang terendah, seperti dicatat Marcellinus Ammianus, tahun 380. Permintaan sutra semakin meningkat, sehingga harga sutra di Roma sangat tinggi (sepotong sutra dari jenis terbaik berharga 300 denarii, senilai gaji setahun prajurit Romawi). Banyak sumber menyatakan bahwa permintaan tinggi sutra impor telah merusak sendi-sendi ekonomi Romawi.
Pada Abad-2SM, duta Kaisar Wu-Ti dari Dinasti Han mengunjungi Persia dan Mesopotamia, membawa berbagai hadiah, termasuk sutra. Kejayaan sutra dan Jalur Sutra berlanjut di masa Dinasti Tang [618-907], seperti terbukti dari banyak penemuan arkeologis (penemuan Aurel Stein tahun 1907 adalah salah satu yang paling dramatis). Stein menemukan lebih dari 10,000 naskah, berbagai lukisan, kain dan panji sutra di sebuah ruangan di Gua Seribu Buddha, dekat Dunhuang, sebuah tempat perhentian di sebelah baratlaut Gansu. Artefak itu adalah barang yang disembunyikan para biarawan Buddhis karena adanya sinyal serangan suku Tangut dari Tibet, sekitar tahun 1015.
Perdagangan Jalur Sutra
Selama satu milenium berikutnya, produk gelas Jahudi dan kain linen menjadi barang dagang utama yang dipertukarkan dengan sutra dan rempah dari Cina dan India. Kayumanis (cinnamon), cassia (kulit kayu bahan pembuat kayumanis), jade, kamper, dan produk Cina lainnya memiliki pasar yang bagus di Barat. Rujukan terawal dalam naskah tentang produk dari Asia Timur (cinnamon dan cassia), terdapat di Kel30:23: Musa diperintahkan untuk mengambil "rempah-rempah pilihan, mur tetesan limaratus syikal, dan kayu teja (kayumanis) yang harum (kinamon besem) setengah dari itu". Dalam Kel.30:24 disebutkan bahwa Musa diperintahkan untuk mengambil "kayu teja (kayumanis, cassia, kiddah) lima ratus syikal".
Dalam naskah Mishnah, seorang tokoh halakah Rabbi Chiyya bar Abba disebut sebagai salah seorang peniaga Timur-Dekat, yang memperdagangkan tiga barang dagangan utama di sepanjang jalur ke Cina, yaitu: barang-barang dari kaca, rami halus, dan linen.Herodotus (485-425SM) menyatakan bahwa kata Yunani kinnamomon berasal dari Kanaan (3.111). Begitu pula kata yang digunakan dalam Kitab Keluaran untuk cassia, kiddah, muncul dalam bahasa Yunani menjadi Kitto. Kata lain dalam Alkitab kes’iah (Maz45.9), menjadi kata Yunani Kasia. Transkripsi kata Aram ke bahasa Yunani menunjukkan bahwa para pedaganglah yang pertama kali membawa rempah tersebut dari abad-5SM dari Asia Timur ke Kawasan Mediterranean sebagai barang dagangan. Sebuah manuskrip Latin abad-4, Descriptus Orbis, menyebutkan Beth Shean sebagai sebuah kota pemasok kain bagi seluruh dunia. Keunggulan tekstil dan pakaian yang diproduksi kalangan Jahudi Beth Shean juga diakui oleh Kaisar Romawi Diocletian.
Jalur Utara menghubungkan Cina dengan Eropa hingga Laut Mati, melalui Urumqi dan Lembah Fergana. Jalur Tengah menghubungkan Cina dengan Eropa hingga tepian Laut Meditrrannia, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia. Jalur Selatan menghubungkan Cina dengan Afghanistan, Iran dan India, melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Di Cina, Jalur Sutra berujung di Changan atau Xian, ibukota kerajaan, ke arah barat melewati koridor Gansu, menuju Dun-huang di sisi Gurun Taklimakan. Jalur utara mulai dari Dun-huang dan Yu-men Guan, menyeberangi Gurun Gobi menuju Hami (Kumul), lalu menyisir kaki Tian-shan di bagian utara Taklimakan. Setelah oasis Turfan, menuju Urumqi dan Lembah Fergana untuk masuk Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini bercabang di Turfan, ke oasis Kucha, menuju Kashgar di kaki Pamirs.
Jalur selatan mulai Dun-huang, melewati Yang Guan, menyusuri sisi selatan Taklimakan, melalui Miran, Hetian (Khotan) dan Shache (Yarkand), menuju utara lalu menuju Kashgar. Masih ada beberapa cabang jalur, salah satunya bercabang dari jalur selatan menuju sisi timur Gurun Taklimakan ke kota Loulan, lalu bergabung dengan jalur utara di Korla. Dari Kashgar yang simpang lalulintas Asia, ada jalur menyeberangi Pamirs menuju Samarkand dan menuju selatan ke Laut Kaspia; atau jalur ke selatan melewati Karakorum menuju India; dan sebuah jalur lain menuju Kuqa, menyeberangi Tian-shan, menuju Laut Kaspia melalui Tashkent
Asal-usul Sutra dan Perkembangan Sutra di Cina
Legenda Cina memberi gelar Dewi Sutra kepada Putri Hsi-Ling-Shih, istri Kaisar Kuning yang mistis, yang disebut memerintah Cina sekitar tahun 3000SM. Putri Hsi-Ling-Shih dianggap berjasa memperkenalkan ulat sutra dan cara pengembakbiakannya. Pada tahun 1927 ditemukan kepompong ulat sutra dari masa 2600-2300SM di bantaran Sungai Huangho, Propinsi Shanxi, Cina sebelah utara. Di Qianshanyang, Propinsi Zhejiang ditemukan pita, serat sutra, dan perca, dari masa sekitar tahun 2000SM. Di bagian hilir Sungai Yang-tze bahkan ditemukan sebuah cangkir kecil dari gading bermotif-hias ulat sutra, alat tenun, serat sutra dan perca dari masa antara 6000-7000SM.
Pada awalnya sutra hanya boleh digunakan di kalangan istana (raja, kerabat dekat, pejabat tinggi). Di dalam istana, kaisar mengenakan jubah sutra putih, di luar istana kaisar dan permaisurinya mengenakan jubah sutra kuning. Pada Abad-5SM, paling tidak terdapat enam propinsi Cina penghasil sutra. Setiap musim semi, Permaisuri memimpin langsung upacara pembuatan sutra. Kerahasiaan teknik dan proses pembuatan sutra dijaga ketat oleh kerajaan. Barangsiapa membuka rahasia, atau menyelundupkan telur atau kepompong sutra ke luar Cina, akan dihukum mati. Secara bertahap produksi kain sutra menjadi industri dan elemen penting ekonomi Cina, sutra digunakan sebagai instrumen musik, tali pancing, tali busur panah, tali pengikat, dan kertas tulis. Akhirnya orang kebanyakanpun boleh mengenakan pakaian sutra. Pada masa Dinasti Han [206SM-220M] sutra tidak lagi sekedar produk industri atau barang dagangan. Petani membayar pajak dengan beras dan sutra, pegawai menerima gaji dan hadiah sutra.
Perdagangan Sutra
Sutra menjadi komoditi perdagangan internasional Cina yang sangat berharga antara. Perdagangan sutra telah terjadi jauh sebelum Jalur Sutra dibuka resmi pada Abad-3SM. Di desa Deir el Medina dekat Thebes, Lembah Raja-raja, Mesir, situs makam para pekerja raja Mesir, ditemukan mummi seorang wanita berusia antara 30-50 tahun. Mummi tersebut mengenakan sutra. Berdasarkan data anthropologis, metode mummifikasi, keadaan makam dan ‘amino-acid racemization’, mummi tersebut dinyatakan berasal dari sekitar tahun 1070, masa Dinasti Ke-21! [G.Lubec, J. Holaubek, C. Feldl, B. Lubec, E. Strouhal. NATURE, March 4, 1993]. Sebelum temuan ini, tercatat bahwa sutra digunakan di Mesir pada masa Dinasti Ptolomeik (sekitar Abad-3), termasuk Cleopatra.
Pada Abad-4SM, orang-orang Yunani dan Roma mulai berbicara tentang Seres, Kerajaan Sutra. Beberapa sejarawan menceritakan bahwa pasukan Marcus Licinius Crassus, Gubernur Siria, adalah orang Romawi pertama yang matanya silau (dalam arti sebenarnya) karena sutra. Dalam pertempuran Carrhae dekat Sungai Efrat, tahun 53SM, para serdadu Romawi panik karena mata mereka silau oleh kilauan sutra rompi pelindung serdadu Partian. Dalam waktu satu dasawarsa sutra Cina menjadi pakaian eksklusif elit Roma (seluruh pakaian Kaisar Heliogabalus [218-222] terbuat dari sutra), tapi segera meluas ke berbagai lapisan masyarakat, bahkan yang terendah, seperti dicatat Marcellinus Ammianus, tahun 380. Permintaan sutra semakin meningkat, sehingga harga sutra di Roma sangat tinggi (sepotong sutra dari jenis terbaik berharga 300 denarii, senilai gaji setahun prajurit Romawi). Banyak sumber menyatakan bahwa permintaan tinggi sutra impor telah merusak sendi-sendi ekonomi Romawi.
Pada Abad-2SM, duta Kaisar Wu-Ti dari Dinasti Han mengunjungi Persia dan Mesopotamia, membawa berbagai hadiah, termasuk sutra. Kejayaan sutra dan Jalur Sutra berlanjut di masa Dinasti Tang [618-907], seperti terbukti dari banyak penemuan arkeologis (penemuan Aurel Stein tahun 1907 adalah salah satu yang paling dramatis). Stein menemukan lebih dari 10,000 naskah, berbagai lukisan, kain dan panji sutra di sebuah ruangan di Gua Seribu Buddha, dekat Dunhuang, sebuah tempat perhentian di sebelah baratlaut Gansu. Artefak itu adalah barang yang disembunyikan para biarawan Buddhis karena adanya sinyal serangan suku Tangut dari Tibet, sekitar tahun 1015.
Perdagangan Jalur Sutra
Selama satu milenium berikutnya, produk gelas Jahudi dan kain linen menjadi barang dagang utama yang dipertukarkan dengan sutra dan rempah dari Cina dan India. Kayumanis (cinnamon), cassia (kulit kayu bahan pembuat kayumanis), jade, kamper, dan produk Cina lainnya memiliki pasar yang bagus di Barat. Rujukan terawal dalam naskah tentang produk dari Asia Timur (cinnamon dan cassia), terdapat di Kel30:23: Musa diperintahkan untuk mengambil "rempah-rempah pilihan, mur tetesan limaratus syikal, dan kayu teja (kayumanis) yang harum (kinamon besem) setengah dari itu". Dalam Kel.30:24 disebutkan bahwa Musa diperintahkan untuk mengambil "kayu teja (kayumanis, cassia, kiddah) lima ratus syikal".
Dalam naskah Mishnah, seorang tokoh halakah Rabbi Chiyya bar Abba disebut sebagai salah seorang peniaga Timur-Dekat, yang memperdagangkan tiga barang dagangan utama di sepanjang jalur ke Cina, yaitu: barang-barang dari kaca, rami halus, dan linen.Herodotus (485-425SM) menyatakan bahwa kata Yunani kinnamomon berasal dari Kanaan (3.111). Begitu pula kata yang digunakan dalam Kitab Keluaran untuk cassia, kiddah, muncul dalam bahasa Yunani menjadi Kitto. Kata lain dalam Alkitab kes’iah (Maz45.9), menjadi kata Yunani Kasia. Transkripsi kata Aram ke bahasa Yunani menunjukkan bahwa para pedaganglah yang pertama kali membawa rempah tersebut dari abad-5SM dari Asia Timur ke Kawasan Mediterranean sebagai barang dagangan. Sebuah manuskrip Latin abad-4, Descriptus Orbis, menyebutkan Beth Shean sebagai sebuah kota pemasok kain bagi seluruh dunia. Keunggulan tekstil dan pakaian yang diproduksi kalangan Jahudi Beth Shean juga diakui oleh Kaisar Romawi Diocletian.
Aru Palaka
Arung Palakka
Arung Palakka dan Riwayat Persekutuan 236 tahun
Lukisan Wajah Arung Palakka
Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta kemudian menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda.
Anak Asuhan Karaeng Pattingalloang
Bone adalah sebuah nama besar. Sejak abad
14M, nama Bone sudah digaungkan dengan berbagai macam panji kebesaran.
Adalah Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424) yang tercatat
dalam tarikh sebagai yang mula-mula menegakkan kerajaan di pesisir timur
semenanjung Sulawesi Selatan ini. Kerajaan yang berada di bibir teluk
Bone ini mulai melenggang dalam panggung sejarah Indonesia sejak abad 17
hingga di abad modern kini.
Bone, menyeruak dalam kronik penulisan
sejarah nasional Indonesia sejatinya bermula pada posisi yang kurang
simpatik. Ketika pertamakali menyebut nama Bone, maka ingatan sejarah
kita akan memunculkan sosok Arung Palakka, Raja Bone ke-16 yang bernama
lengkap Arung Palakka La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE
Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin Matinroe
ri Bontoala (1672-1696) – sosok penting yang menjadi penyebab jatuhnya
kerajaan Gowa Tallo tahun 1669. Juga tak bisa disangkal bahwa dia dan
balatentara To Angke nya turut andil di bawah arahan VOC menumpas
pemberontakan Minangkabau 1666 dan Trunojoyo Madura 1679.
Arung Palakka, sosok kontroversial ini
berada di kutub berseberangan dengan Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa yang
sezaman dengannya dan kemudian ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional.
Karena pilihan politiknya saat itu, dengan tetap menghormati latar
belakang sosio-historisnya, Arung Palakka kelak kemudian lebih sering
dimasukkan dalam deretan sosok antagonis dalam laku sejarah, berada
dalam barisan yang sama dengan Sultan Haji (Banten), Amangkurat II
(Mataram), hingga Sultan Hamid II (Pontianak). Namun terlepas dari
segala kontroversinya, sosok Arung Palakka nyatanya hingga kini menjadi
simbol kehormatan dan perlawanan rakyat Bone terhadap kekuasaan asing
(Gowa-Tallo).
Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan
memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang
dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang
sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum
lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli
gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta
kemudian menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda. Buku Sejarah mesti
bijak dan netral menempatkan sosok ini, kalau tak hendak menyesatkan
generasi masa depan dengan labelisasi yang menyesatkan. Bagi Bone, Arung
Palakka adalah pahlawan. Bagi Gowa Tallo (bukan Indonesia), memang
Arung Palakka adalah sosok penentang yang telah mempermalukan Gowa Tallo
hingga beratus tahun kemudian. Bagi kita, Arung Palakka layak dijadikan
salah satu bahan “pembacaan” bijak mengenai sejarah bangsa bugis
mempertahankan kehormatannya.
Arung Palakka sendiri sejatinya sejak
berumur 11tahun sudah diasuh dalam lingkungan istana Gowa-Tallo. Adalah
Karaeng Pattingalloang, tumabbicara butta (mahapatih) yang
turun langsung mengasuh pangeran Bone ini. Bersama puluhan bangsawan
Bone, kala itu Arung Palakka berada dalam pengawasan Gowa Tallo sebagai
duta/tawanan kerajaan Bone yang baru saja takluk. Arumpone saat itu, La
Maddaremmeng (memerintah 1625-1640) dihukum oleh Gowa-Tallo atas desakan
bangsawan Bone termasuk ibundanya sendiri Datu Pattiro We
Tenrisoloreng, juga karena kerajaan Wajo dan Soppeng merasa terganggu
dengan kebijakan politis-ekspansif La Maddaremmeng di wilayah Bone, Wajo
dan Soppeng. La Maddaremmeng sendiri dipercaya mendesakkan keyakinannya
untuk menghapuskan perbudakan, dan penerapan syariat Islam yang ketat
dengan pelarangan sabung ayam, judi dan minum tuak; sebuah kebijakan
yang saat itu tidak popular dan mengancam kedudukan para bangsawan.
Dalam sebuah serangan kolosal, psaukan Gowa-Tallo yang dipimpin langsung
Patih Karaeng Pattingalloang berhasil membekuk Bone dan menawan La
Maddaremmeng bersama beberapa pengikutnya, termasuk bocah Arung Palakka
dan keluarganya.
Lukisan rekaan Karaeng Patingalloang

Bangsa-bangsa asing banyak berdatangan ke
Makassar untuk berniaga, termasuk pedagang Melayu, Inggris, Spanyol,
Arab dan Belanda. Pada suatu ketika, pedagang Belanda berbuat keonaran
di pelabuhan Makassar dan karenanya mereka diusir dan tak diperkenankan
lagi berdagang di Makassar setelah kejadian itu. Sejak itu, dendam mulai
dipelihara oleh pedagang Belanda dan menjadi musabab awal diincarnya
Gowa-Tallo untuk dikuasai VOC kemudian. Di masa itu, Arung Palakka
tumbuh menjadi pangeran cerdas yang mengikuti seksama
kebijakan-kebijakan Karaeng Pattingalloang, yang kebetulan juga sangat
menghargai kecerdasan Karaeng Serang, nama remaja Arung Palakka.
Tahun 1654, Karaeng Pattingalloang
mangkat dan digantikan putranya yang rupanya kurang mewarisi
kebijaksanaan ayahnya, Karaeng Karunrung. Karaeng muda ini terkenal
sangat temperamental dan lebih menyukai aktifitas militer yang
ekspansif. Untuk memperkuat kerajaan Gowa-Tallo, dia memerintahkan
pembangunan kanal raksasa di sekitar benteng-benteng yang dimiliki
kerajaan. Para tawanan kerajaan dikerahkan dalam pembangunan ini, tidak
terkecuali bangsawan-bangsawan Bone termasuk Arung Palakka. Dengan kerja
paksa yang melelahkan dan merendahkan martabat mereka, Arung Palakka
kemudian berpikir untuk mengumpulkan bangsawan-bangsawan Bone yang jadi
pengikutnya untuk melarikan diri dari Makassar. Bersama 4000
pengikutnya, ia menghindari kejaran pasukan Gowa Tallo menuju Buton,
kemudian pada akhirnya berlabuh di Batavia tahun 1664 yang disambut oleh
sahabatnya Corneelis J Speelman yang saat itu baru saja dipecat dari
posisi Gubernur Jendral VOC di Coromandel, Srilanka.
Triumvirat Speelman-Arung Palakka-Jonker
Cornelis J Speelman (1628-1684)

Di tangan triumvirate ini, kekuatan
militer menjadi wajah yang lazim digunakan VOC dalam mengamankan
kepentingannya. Riwayat kekerasan di balik politik dagang monopolistic
konon bermuasal dari persekutuan ini. Berbagai ekspedisi militer
dikerahkan di berbagai wilayah kekuasaan VOC, sebutlah misalnya ketika
Arung Palakka dan pasukannya dikerahkan dalam ekspedisi Verspreet yang
berhasil menumpas perlawanan rakyat Minangkabau dan seluruh pantai barat
Sumatera. Ekspedisi militer ini juga berhasil memutus hubungan
Minangkabau dengan Aceh, sekaligus berhasil menguasai sumber tambang
emas Salido yang terkenal. Oleh Arung Palakka bersama Speelman,
kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman yang kemudian
mengangkat Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan. Kisah seputar
riuh penguasaan tambang emas Salido ini kemudian diangkat menjadi latar
novel fiksi-sejarah bertajuk Rahasia Meede – Misteri Harta Karun VOC
(Penerbit Hikmah, 2007) yang ditulis oleh ES Ito.
Ekpedisi militer lainnya yang melibatkan
triumvirate ini juga berlangsung di beberapa daerah, terutama yang
terkenal adalah penaklukan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669)
dan penumpasan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur (1679). Tercatat
juga mereka turun dalam medan perang di Palembang dan Jambi (1681),
serta Perang Banten saat memadamkan perlawanan Sultan Abu’lFatah
(1682-1683).
Pencapaian paling penting Arung Palakka
bersama dua kompatriotnya ini tak lain adalah takluknya Gowa-Tallo dalam
Perang Makassar (1667-1669) dan Bone kembali berdaulat setelah sekian
lama menjadi kerajaan bawahan. Tak hanya itu saja, keberhasilan ini
menguatkan dominasi dan hegemoni kekuatan Bone, dan Arung Palakka secara
individual atas seluruh semenanjung Sulawesi bagian selatan, dari
Selayar di selatan, hingga Mandar dan Toraja serta Luwu di utara.
Sebaliknya, kekalahan Gowa-Tallo meninggalkan luka sejarah yang mengoyak
hubungan kedua bangsa ini hingga beratus-ratus tahun kemudian.
Makam Kapitan Jonker di Pejonkeran, Marunda
Persekutuan tiga serangkai Speelman-Arung
Palakka-Jonker ini nyatanya juga meninggalkan jejak di buku-buku
sejarah, syair-syair Makassar, sinrilik dan cerita-cerita lokal Bugis
Makassar. Bahkan riwayat persekutuan ini terabadikan pada sebuah nama
tempat di utara Jakarta. Konon, pasukan Arung Palakka menamakan dirinya
sebagai To Angke’ (Bahasa Bugis: Orang Yang Memiliki
Kehormatan), sebagai bentuk simbolis gerakan pemberontakan mereka untuk
mengembalikan kehormatan Bone dari kuasa kuasa Gowa-Tallo. Hingga kini,
tanah perdikan yang dihibahkan kepada Pasukan Bone di mulut teluk
Jakarta itu dinamakan Muara Angke, tempat menetapnya orang-orang Bugis
Bone yang menamakan dirinya orang Angke’. Hingga kini, kawasan itu
banyak didiami oleh orang-orang Bugis perantauan. Kapitan Jonker sendiri
mendapat tanah luas di Marunda, yang kelak tanah itu di kenal sebagai
daerah Pejonkeran.
Persekutuan 236 tahun
Telatennya Arung Palakka merawat hubungan
saling menguntungkan antara dirinya dan Speelman kala itu menjejakkan
sebuah kesepahaman untuk saling menjaga kedaulatan bahkan hingga
keduanya terubujur mati di dalam tanah. Kedudukan VOC terkuatkan dengan
dukungan balatentara dari Bone, dan sebagai imbalannya VOC mendukung
penuh kedaulatan Bone atas wilayah dan pengaruhnya dari gangguan
kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan Arung Palakka kemudian memperlebar
dominasi geo-politis individualnya tidak hanya seluas wilayah Bone yang
dia warisi, tapi juga berhasrat mempersatukan Sulawesi Selatan dalam
rengkuhan singgasananya, termasuk Toraja dan Luwu di utara, yang sejak
dulu jauh dari hiruk pikuk kekuasaan politik di selatan.
Sejatinya, dominasi Bone di Sulawesi
Selatan pada abad 17 dan 18M menimbulkan sederet luka pada
kerajaan-kerajaan sekitarnya. Meski terikat dalam perjanjian kuno Tellumpoccoe antara
tiga kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo, namun tak ayal hegemoni Bone yang
berlimpah semenjak Perang Makassar menyebabkan kedudukan kerajaan
lainnya jatuh ke posisi paria, terutama Wajo dan Mandar. Saat Perang
Makassar sendiri, Wajo dam Mandar cenderung memihak ke Gowa-Tallo.
Banyak kronik kerajaan-kerajaan itu menyebutkan banyak bangsawan dan
rakyat Wajo, juga Mandar dan Toraja diperdagangkan sebagai budak oleh
Bone. Saat itu, perdagangan budak memang sempat menjadi komoditas yang
sangat menguntungkan. Belum lagi soal beban pajak yang berat dikenakan
kepada Wajo yang dianggap kalah perang. Hal yang sama berlaku untuk
rakyat Mandar dan Toraja yang juga mengalami kekerasan serupa. Dalam
banyak cerita rakyat disebutkan bahwa orang Bone berhak menampar wajah
orang Wajo kalau menolak menyeberangkan mereka ke seberang Danau Tempe.
Juga bagaimana pemeo yang tertanam di kepala orang Toraja melalui
cerita-cerita rakyat bahwa Bone adalah pembawa petaka bagi negerinya.
Konflik elite itu sesungguhnya kemudian sangat membekas di kalangan
rakyat bawah yang paling merasakan dampak langsung pergumulan politis
kerajaan-kerajaan itu.
Akhir hidup tokoh-tokoh persekutuan ini
berakhir tragis, kecuali Arung Palakka. Speelman wafat di Batavia pada
11 Januari 1684, meninggalkan banyak kasus korupsi dan penyelewengan
kekuasaan setelah dipecat dari posisi Gubernur Jendral VOC. Akhir hidup
Kapitan Jonker mengenaskan. Setelah pelindung utamanya, Speelman wafat,
ia sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan VOC. Rumahnya di Marunda
dikepung tahun 1689, dan Jonker yang bernama asli JonckerJouwa de Manipa terbunuh
dalam peristiwa itu. Arung Palakka mangkat pada usia 61 tahun di
Bontoala, tahun 1696. Ia dimakamkan di wilayah kekuasaan Gowa-Tallo yang
diperanginya 30 tahun sebelumnya. Ia meninggal karena penyakit hidung
yang menghinggapinya sejak berenang menyeberangi selat Madura di tahun
1679. Tak ada anak kandung yang didapatnya dari tiga pernikahan dengan
bangsawan Bugis. Penggantinya, La Patau yang memerintah dari tahun
1696-1714 adalah keponakannya yang diangkat sebagai putra mahkota.
Buah dari hubungan mesra antara Arung
Palakka dan Speelman berdampak hingga hingga dua abad setelah keduanya
meninggal. Kerajaan Bone menjadi satu-satunya wilayah di Sulawesi
Selatan, pun mungkin di seantero kepulauan Indonesia, yang masih bebas
merdeka tanpa perlu membayar pajak dan upeti sebagai tanda takluk kepada
pemerintah penjajah Belanda selama masa 236 tahun (1669 – 1905). Inilah
hak khusus Bone yang mungkin tak dimiliki oleh kerajaan lainnya, dan
diperbaharui setiap kali pergantian Gubernur Jendral hingga berakhir
pada pecahnya Perang Bone tahun 1905. Perang yang berlangsung selama
lima bulan di masa pemerintahan Arumpone LaPawawoi Karaeng Sigeri
Matinroe ri Jakarta ini kemudian menamatkan riwayat persekutuan sejati
Bone-Belanda sepanjang nyaris 30 windu ini.
Wali Pitue Bugis (sumber la galigo net)
Arung Palakka, sosok kontroversial yang
berada di antara dua sisi sejarah ini memang semacam perekat tiga
generasi. Dengan persekutuan yang dirintis melalui Speelman, ia bisa
menjaga kedaulatan Bone hingga awal abad ke-20. Yang lebih hebat lagi
adalah bahwa Arung Palakka yang sejatinya tak pernah terbersit kronik
persentuhannya dengan agama Islam, kelak ditahbiskan sebagai salah satu
Wali Pitue tanah Bugis. Mungkin meminjam “mitos” yang mirip dengan Wali
Songo, dimasukkannya Arung Palakka sebagai salah satu tokoh wali sufi
kemudian mengekalkan ketokohannya, sekaligus mencoba membersihkan
tangannya yang penuh lumuran darah kekerasan bahkan saudara
seperjuangannya Arung Bakke yang tewas dipenggalnya di Mandar. Di luar
segala kontroversinya, Arung Palakka wajar dikagumi sebagai salah satu
tokoh yang berpengaruh luas dan teramat panjang di lintas masa peradaban
Bugis dan Indonesia.
sumber:/legendanusantara.wordpress.com
Nama Nusantara berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu nusa
yang berarti “pulau” dan antara yang berarti “luar”. Nusantara digunakan
untuk menyebut pulau-pulau di luar Majapahit (Jawa). Perkataan Nusantara kita
dapatkan dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada yang diucapkan dalam upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Kerajaan Majapahit (tahun 1258
Saka/1336 M) yang tertulis di dalam Kitab Pararaton (Raja-raja):
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah
Mada, “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun,
ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
(Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah
Mada, “Jika telah mengalahkan nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa.
Jika mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.)
- Gurun = Nusa Penida
- Seran = Seram
- Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat
- Haru = Sumatra Utara (ada kemungkinan merujuk kepada Karo)
- Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu
- Dompo = Dompu, sebuah daerah/kabupaten di pulau Sumbawa
- Bali = Bali
- Sunda = Kerajaan Sunda
- Palembang = Palembang atau Kerajaan Sriwijaya
- Tumasik = Singapura
Dapat dikatakan penamaan nusantara ini adalah berdasarkan sudut pandang
Majapahit (Jawa), mengingat pada waktu itu belum ada sebutan yang pasti untuk
menyebut seluruh kepulauan yang sekarang bernama Indonesia dan juga Malaysia).
Sebutan Nusantara pernah coba dihidupkan oleh Ki Hajar Dewantara untuk
mengggantikan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie), namun setelah
disetujuinya penggunaan sebutan Indonesia oleh Kongres Pemuda Indonesia (dalam
Sumpah Pemuda) tahun 1928, sebutan Nusantara digunakan sebagai sinonim untuk
menyebut kepulauan Indonesia.
Nama Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu indo/indu
yang berarti Hindu/Hindia dan nesia/nesos yang berarti pulau.
Sejarah dan Journal of Arti Nama Indonesia (diringkas dari Wikipedia)
Orang yang pertama kali memperkenalkan nama Indonesia adalah orang Inggris
bernama George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya yang berjudul “On the
Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”
pada tahun 1850 di the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA),
terbitan Singapura.
Dalam
tulisan tersebut Earl mengusulkan dua alternatif nama untuk menggantikan
sebutan Hindia (Indie/India), yaitu Malayunesia dan Indunesia. Earl sendiri
lebih menyukai menggunakan sebutan Malayunesia mengingat bahasa pergaulan (lingua
franca) di kepulauan ini adalah bahasa Melayu. Selanjutnya Richardson Logan
mengambil nama Indonesia dari Earl dan untuk alasan kenyamanan pelafalan, ia
mengganti huruf u menjadi
o. Untuk pertama kalinya
nama Indonesia muncul di dunia internasional melalui tulisan Logan
di JIAEA (1850) yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago”.
Tahun 1884 Adolf Bastian dari
Universitas Berlin menerbitkan buku sebanyak lima volume dengan judul Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di
Kepulauan Melayu). Buku inilah yang membuat nama Indonesia menjadi popular di
kalangan cendekiawan Belanda, sehingga membuat sebagian kalangan salah mengira
bahwa nama Indonesia diciptakan oleh Bastian, padahal ia mengambil istilah
tersebut dari tulisan-tulisan Logan. Pada akhirnya istilah Indonesia tersebut
sampai ke tangan orang-orang Indonesia pada awal abad ke-20 dan menjadi
indentitas bagi sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan
Belanda.
Langganan:
Postingan (Atom)